HAJRAN JAMIL, SHABRAN JAMIL, SHAFHAL JAMIL

Menyelami termJAMIILAA” dalam firman-Nya

Oleh: Inayah Nazahah

Menyelami keindahan kalam-Nya membuat kita sadar. Pantas, sejak dahulu hingga sekarang tidak ada seorangpun yang mampu menandingi kebagusan struktural kata dan kalimatnya. Ya. Al-qur’an adalah mukjizat yang tiada tanding. Huruf demi huruf yang tersusun menjadi kata, kata demi kata yang tersusun menjadi kalimat, kalimat demi kalimat yang tersusun menjadi ayat, ayat demi ayat yang tersusun menjadi surat adalah sebuah mukjizat agung untuk sang rasul yang tiada tanding.
Tak dapat dipungkiri, keindahan katanya memiliki sejuta ilmu yang tiada terkira. Salah satunya Alloh SWT menyebutkan kalimat indah al-Qur’an dalam sebuah term jamiila. Indah, ya. Kata tersebut disebut sebanyak tiga kali dalam al-Qur’an. Kata yang mengandung banyak pelajaran untuk seluruh kaum muslimin. Kata yang mengandung pendidikan moral dan etika. Dari sinilah sudah selayaknya kita berusaha untuk mengamalkan kandungannya. Sebab dengannya, keindahan Islam begitu terasa bagi hati setiap muslim. Dan itulah yang dimaksudkan dalam Islam.
Dalam tiga tempat tersebut Alloh SWT telah menyebutkan tiga hal berbeda yang Ia sifati dengan al-jamil. Diantara tiga kalimat yang bergandeng dengan kata al-jamil atau jamila ialah; fashbir shabran jamiil, wahjurhum hajran jamila, fash-fahish shafhal jamiil.

Hajran Jamil
Kata al-Hajru  bermakna pengasingan atau penjauhan, jamiil bermakna indah, bagus nan elok. Dalam ayat ini maksud daripada ayat adalah jauhilah mereka dengan cara yang baik. Cara yang baik dalam hajr adalah dengan meniadakan unsur menyakiti. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam kitab rawa’iu al-bayat fi tafsir ayati al-Ahkam, bahwa hajran jamil adalah hajr yang tidak mengandung unsur menyakiti.
Imam al-Maraghi mengomentari ayat al-Muzammil ayat 6 tersebut bahwa dengan kesabaran hati dan meninggalkan perbuatan mereka dengan cara yang baik, meninggalkan kesalahan dan dosa mereka tanpa adanya hinaan dan cercaan atas mereka. Sedangkan Ibnu Salamah mengemukakan bahwa ayat ini telah dinasakh dengan ayat (al-sayf). Lain halnya dengan Ibn al-Jauzi yang berkomentar bahwa sesungguhya yang dihapus (mansukh) adalah rekonsiliasi atau perdamaian (muhadanah) yang terjadi, sebagaimana firman Allah (wa ihjurhum hajran jamila).
Ayat ini memberikan kesan terhadap pentingnya kesabaran dalam menghadapi mereka orang-orang kafir dan munafik atas perkataan-perkataan yang mereka lontarkan dan perintah untuk meninggalkan mereka dengan perangai yang baik serta tidak menyakiti hati mereka, sebagaimana firman-Nya (wa ishbir ‘ala ma yaqulun wa ihjurhum hajran janila). Adapun kesabaran adalah diperintahkan dalam setiap waktu dan keadaan apapun. Sedangkan hajrun jamil, (jauhilah mereka dengan cara yang baik) adalah meninggalkan dengan nama Allah dibuktikan melalui firman Allah swt, Q.S al-An’am [6]: 68, dan telah menasakh firman Allah (fa’A’ridh anhum) dengan firman-Nya (hatta yahudi fihaditsin gayrih) dimana nabi saw memerintahkan untuk meninggalkan para orang-orang yang bodoh (sufaha) dan membiarkan sanksi hukuman kepada tuhan mereka sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah swt ; Q.S al-Muzzammil [73]: 11.
Mengenai hajr diatas, yang dimaksud tentulah yang tidak mengandung unsur menyakiti. Dalam hal ini terdapat metode tersendiri sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Diantara cara meng ahjar yang dicontohkan oleh rasul adalah:
  1. Dalam mengasingkan orang terlebih dahulu kita ketahui sebab yang memicu tindakan orang tersebut. Hal ini dikarenakan, bisa jadi tingkah menyimpang yang mereka lakukan disebabkan karena kebodohan mereka terhadap ilmu.
  2. Melakukan nasihat terlebih dahulu sebelum melakukan pengasingan. Sebab islam adalah agama yang rahmah untuk semua manusia, islam tidak mengajarkan umatnya berbuat ceroboh dalam menghukum orang yang bersalah.
Shabran Jamiil
Ash-shabru bermakna sabar, sedang jamiil memiliki makna sebagaimana diatas yaitu dengan baik. Kalimat ini tercantum dalam surat al-Ma’arij ayat lima, yang berbunyi fashbir shabran jamiila yang artinya, “ dan bersabarlah kamu dengan sabar yang baik”. Ayat ini turun guna meneguhkan hati nabi SAW saat kaumnya banyak yang mendustakan risalahnya.
Dari ayat diatas kita dapat belajar bahwa Alloh telah menyuruh rasul-Nya bersabar atas tingkah buruk kaumnya. Hal ini juga berlaku untuk hamba-Nya yang lain. Alloh SWT menyampaikan cinta-Nya kepada para hamba-Nya supaya mereka tetap bersabar saat diuji diatas  jalan kebenaran. Sebab jika seorang hamba   teguh diatas kebenaran dan bersabar dalam menghadapi ujian, niscaya kepedihan yang ia rasakan akan sirna, kelelahan akan hilang dan yang tersisa hanyalah bahagia berupa perolehan ganjaran dan pahala.
Namun, sabar tidak hanya bermakna sabar pada umumnya, terucap dalam mulut sajaaku bersabar, kok, tapi lebih daripada itu. Sabar yang Alloh inginkan dari hamba-Nya adalah kesabaran yang baik, sabar yang tidak didapati keluh dan kesah. Sabar yang berhias tawakal mendalam.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh al-Junaid saat ditanya tentang sabar beliau mengatakan, “yaitu menelan kepahitan tanpa mengerutkan muka”. Ada juga yang mengatakan bahwa sabar adalah berlapang dada ketika ditimpa musibah tanpa berkeluh kesah, dan inilah hakikat sabar yang sesungguhnya. Sebab sabar dan keluh kesah adalah dua hal yang saling bertentangan satu sama lain. Sebagaimana difirmankan oleh Alloh Swt.: سواء علينا أجزعنا أم صبرنا ما لنا من محيص".  Yang artinya, Sama saja bagi kita, apakah kita berkeluh kesah atau sabar, tidak ada tempat bagi kami untuk melarikan diri. (QS. Ibrahim: 21)

Shafhal Jamil
Ash-Shafhu berarti maaf, sedangkan shafhan jamiil adalah memberikan maaf dengan baik. Maksudnya, pemberian maaf tersebut tidak diiringi dengan cela.
Menahan amarah dan memaafkan manusia adalah dua akhlak muslim yang mulia, yang diperintahkan oleh Alloh SWT untuk hamba-hamba-Nya yang beriman.  Kelak bagi penyandang dua sifat tersebut kenikmatan dari Alloh berupa pahala yang besar, derajat yang mulia dan kepemimpinan yang agung nan besar di Syurga.
Bukan suatu hal yang mudah memang, menahan amarah maupun memaafkan kesalahan saudara. Terlebih jika Alloh memberikan kemampuan atau qudrah untuk membalas atau mengambil hak dari orang yang berbuat jahat padanya, menyakitinya, dan membalas dengan balasan yang setimpal.
Memaafkan manusia merupakan sifat rahmat Alloh yang pertama, yang dikhususkan untuk para hamba-Nya. Memaafkan, mengampuni dan menerima taubat adalah sifat-sifat yang dengannya Alloh merahmati hamba-Nya. Hal ini selaras dengan firman-Nya, “ ..Alloh telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Alloh akan menyiksanya.” (QS. Al-Maidah: 95)
Berbagai ayat al-Qur’an telah menganjurkan manusia supaya memaafkan, sebagaimana termaktub dalam surat at-Taghabun: 14 yang berarti, “ ...dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Alloh maha pengampun, Maha Penyayang”.
Maka, memaafkan yang seirama dengan perintah Alloh adalah memaafkan orang lain yang tidak diikuti dengan cela. Memaafkan yang tidak diiringi dengan cela adalah ketika kita memaafkan dengan sepenuh hati, tidak mengungkit kesalahan orang lain kembali.

Begitulah Alloh telah pesankan pada kita supaya melazimkan sabar dengan sabar yang baik, hajr dengan hajr yang baik, memaafkan dengan maaf yang baik. Sebab kesemua itu memiliki keterkaitan maksud dan perintah. Oleh karenanya, semua perkara dan bentuk muamalah hendaknya kita lakukan dengan cara yang baik. Semoga dengan melazimkan tiga karakter dan sifat diatas kita dapat menjadi hamba-Nya yang arif lagi menjadi penduduk syurga-Nya. Wanas-alullloha al-‘afiyah.

Terinspirasi dari ceramah Ust Firanda: Kisah Bani Israil 1 di Youtube.
Dikutip dari: http://bintuiman.blogspot.com/2016/10/term-jamila.html

Komentar